Minggu, 19 Desember 2010

Perlunya Mengembangkan Pendidikan Budi Pekerti

Pendidikan sesungguhnya adalah miniatur sebuah bangsa. Artinya, suatu bangsa disebut maju apabila pendidikannya mampu melahirkan sumber daya -manusia (SDM) yang terampil, tangguh, mandiri, beriman kepada Tuhan Yang Maha Esa dan berbudi pekerti luhur. Sebaliknya, apabila pendidikan itu gagal melahirkan sumber daya mansuia sebagaimana tersebut di atas maka pilar-pilar bangsa dan negara pun oleng. Dan yang terakhir inilah yang selama ini terjadi di Indonesia.

Berbagai kasus penyelewengan, kejahatan, perselingkuhan dan hal-hal yang bertentangan , dengan nilai keutamaan hidup semakin akrab dengan kehidupan masyarakat kita. Ironisnya, pelaku kejahatan adalah masyarakat terpelajar. Lebih menyedihkan lagi , pelajar/mahasiswa yang masih bergelut dengan proses pendidikan di almarnaternya menjadi komunitas pelaku kejahatan dan pelanggar norma kehidupan masyarakat bermasyarakat. Tawuran antar pelajar, kumpul kebo, penodongan, pencurian, pengedaran dan pengguna narkoba merupakan deretan fakta yang menjadi pemandangan biasa bagi masyarakat Indonesia.

Itulah gambaran pendidikan budi pekerti kita yang yang juga merupakan potret miniatur bangsa, Indonesi dewasa ini. Penataannya semrawut, bentuk bangunannya tidak proporsional dan asesorisnya yang tidak menarik. Tak mengherankan pendidikan budi pekerti di sekolah tidak berhasil baik. Maka terwujudlah apa yang disebut amburadul.

Mengapa seiring dengan era reformasi, era kebebasan berpendapat serta meledaknya arus demokrasi seolah pendidikan budi pekerti tidak mendapat tempat untuk berkembang ? Apa sebenarnya yang diperlukan agar pendidikan budi pekerti dapat diterjemahkan oleh siswa dalam sikap dan perilaku sehari-hari ? Apakah di era Kurikulum Berbasis Kompetensi pendidikan budi pekerti dapat disisikan dalam setiap mata pelajaran ?

Problematika di sekolah

Problematika yang menghambat perkembangan pendidikan budi pekerti bagi siswa memang kompleks adanya. Beberapa problematika dimaksud adalah : Pertama, belum serentak dan terpadunya guru pengampu mata pelajaran menyisipkan pendidikan budi pekerti. Pada umumnya pendidikan budi pekerti dianggap sebagai filial mata pelajaran PKn dan pendidikan Agama. Mengapa ? Karena pelajaran di sekolah berkecenderungan untuk dicatat dan dihafalan siswa sehingga sesuatu yang tidak dicatat tidak dianggap pelajaran. Padahal mata pelajaran selain PKn dan Pendidikan Agama memang tidak memberikan pendidikan budi pekerti secara tertulis.

Kedua, minimnya tauladan pendidikan budi pekerti yang disampaikan guru. Hubungan guru dengan siswa selama ini lebih menggambarkan sebagai seorang komandan dengan bawahan. Posisi guru selalu ditempatkan di atas sedangkan siswa diharamkan duduk di sampingnya. Dengan kondisi demikian justru menyulitkan guru itu sendiri menstransfer, melatih, mengembangkan, menilai dan memantau materi pendidikanti kepada siswa. Lebih memprihatinkan lagi sebagian guru masih belum peduli terhadap pendidikan budi pekerti. Masih ada guru yang merokok di depan kelas, enggan mengucapkan terima kasih kepada siswa, menyapa siswa dengan tidak sopan, tidak ikut upacara sehingga ditauladani siswa, tidak bersikap jujur dan masih banyak lagi sikap-sikap guru yang bertentangan dengan pendidikan budi pekerti.

Ketiga, tidak adanya evaluasi pendidikan budi pekerti seperti halnya mata pelajaran matematika , IPA, IPS dan lain-lain menyebabkan ketidakseriusan guru dan siswa dalam menekankan pendidikan budi pekerti di sekolahnya. Kalau ada (dari mata melajaran PKn dan Agama) hanya merupakan evaluasi pengetahuan budi pekerti bukan pendidikan budi pekerti. Mestinya nilai pendidikan budi pekerti diambil dari seluruh proses apakah siswa berbudi pekerti yang baik di sekolah ?

Keempat, tidak ada penekanan praktek pendidikan budi pekerti di dalam kehidupn sekolah. Tidak ada pemantauan secara serentak dan terpadu oleh pihak sekolah terhadap sikap dan perilaku anak dalam kehidupan kesehariannya. Ucapan terima kasih kepada teman dan gurunya, sikap siswa ketika masuk ruang guru, bagaimana ucapan siswa ketika menanyakan guru A di ruang guru, ucapan doa ketika memperoleh nilai yang memuaskan atau sikap yang terbaik terhadap teman yang terkena musibah dan lain-lain tidak mendapat tekanan, kesempatan latihan dan pernantauan oleh guru secara terpadu. Pendeknya, tidak ada praktikurn pendidikan budi pekerti seperti halnya praktikum IPA di laboratorium.

Kelima, kurangnya dukungan masyarakat terhadap pengembangan pendidikan budi pekerti siswa. Nilai-nilai budi pekerti yang diterima dari proses pendidikan di sekolah seringkali kandas oleh pergaulan di dalam keluarga dan masyarakat sekitarnya. Di sekolah kurang dari sepertiga waktu dalam sehari sedangkan waktu dua pertiganya ada di masyarakat. Oleh karenanya pengaruh keluarga dan masyarakat mempunyai kontribusi yang sangat besar bagi pembentukan pribadi siswa.

Kenyataannya banyak sekali nilai-nilai budi pekerti yang diberikan di sekolah tidak mendapat dukungan dari keluarga maupun masyarakat. Contoh, di sekolah diajari peduli terhadap lingkungan tetapi ayahnya sendiri memberi contoh merusak lingkungan, di sekolah ditegaskan bahwa mencuri itu perbuatan dosa dan tercela namun kakaknya sendiri sering mencuri ayam tetangga, di sekolah diajari saling menyapa bila bertemu teman tetapi di rumah ayah dan ibunya tidak saling tegur sapa. Dalam kondisi yang demikian ini siswa akan sulit mencema apa yang diajarkan gurunya.

Perlunya Mengembangkan Pendidikan Budi Pekerti

Pendidikan sesungguhnya adalah miniatur sebuah bangsa. Artinya, suatu bangsa disebut maju apabila pendidikannya mampu melahirkan sumber daya -manusia (SDM) yang terampil, tangguh, mandiri, beriman kepada Tuhan Yang Maha Esa dan berbudi pekerti luhur. Sebaliknya, apabila pendidikan itu gagal melahirkan sumber daya mansuia sebagaimana tersebut di atas maka pilar-pilar bangsa dan negara pun oleng. Dan yang terakhir inilah yang selama ini terjadi di Indonesia.

Berbagai kasus penyelewengan, kejahatan, perselingkuhan dan hal-hal yang bertentangan , dengan nilai keutamaan hidup semakin akrab dengan kehidupan masyarakat kita. Ironisnya, pelaku kejahatan adalah masyarakat terpelajar. Lebih menyedihkan lagi , pelajar/mahasiswa yang masih bergelut dengan proses pendidikan di almarnaternya menjadi komunitas pelaku kejahatan dan pelanggar norma kehidupan masyarakat bermasyarakat. Tawuran antar pelajar, kumpul kebo, penodongan, pencurian, pengedaran dan pengguna narkoba merupakan deretan fakta yang menjadi pemandangan biasa bagi masyarakat Indonesia.

Itulah gambaran pendidikan budi pekerti kita yang yang juga merupakan potret miniatur bangsa, Indonesi dewasa ini. Penataannya semrawut, bentuk bangunannya tidak proporsional dan asesorisnya yang tidak menarik. Tak mengherankan pendidikan budi pekerti di sekolah tidak berhasil baik. Maka terwujudlah apa yang disebut amburadul.

Mengapa seiring dengan era reformasi, era kebebasan berpendapat serta meledaknya arus demokrasi seolah pendidikan budi pekerti tidak mendapat tempat untuk berkembang ? Apa sebenarnya yang diperlukan agar pendidikan budi pekerti dapat diterjemahkan oleh siswa dalam sikap dan perilaku sehari-hari ? Apakah di era Kurikulum Berbasis Kompetensi pendidikan budi pekerti dapat disisikan dalam setiap mata pelajaran ?

Problematika di sekolah

Problematika yang menghambat perkembangan pendidikan budi pekerti bagi siswa memang kompleks adanya. Beberapa problematika dimaksud adalah : Pertama, belum serentak dan terpadunya guru pengampu mata pelajaran menyisipkan pendidikan budi pekerti. Pada umumnya pendidikan budi pekerti dianggap sebagai filial mata pelajaran PKn dan pendidikan Agama. Mengapa ? Karena pelajaran di sekolah berkecenderungan untuk dicatat dan dihafalan siswa sehingga sesuatu yang tidak dicatat tidak dianggap pelajaran. Padahal mata pelajaran selain PKn dan Pendidikan Agama memang tidak memberikan pendidikan budi pekerti secara tertulis.

Kedua, minimnya tauladan pendidikan budi pekerti yang disampaikan guru. Hubungan guru dengan siswa selama ini lebih menggambarkan sebagai seorang komandan dengan bawahan. Posisi guru selalu ditempatkan di atas sedangkan siswa diharamkan duduk di sampingnya. Dengan kondisi demikian justru menyulitkan guru itu sendiri menstransfer, melatih, mengembangkan, menilai dan memantau materi pendidikanti kepada siswa. Lebih memprihatinkan lagi sebagian guru masih belum peduli terhadap pendidikan budi pekerti. Masih ada guru yang merokok di depan kelas, enggan mengucapkan terima kasih kepada siswa, menyapa siswa dengan tidak sopan, tidak ikut upacara sehingga ditauladani siswa, tidak bersikap jujur dan masih banyak lagi sikap-sikap guru yang bertentangan dengan pendidikan budi pekerti.

Ketiga, tidak adanya evaluasi pendidikan budi pekerti seperti halnya mata pelajaran matematika , IPA, IPS dan lain-lain menyebabkan ketidakseriusan guru dan siswa dalam menekankan pendidikan budi pekerti di sekolahnya. Kalau ada (dari mata melajaran PKn dan Agama) hanya merupakan evaluasi pengetahuan budi pekerti bukan pendidikan budi pekerti. Mestinya nilai pendidikan budi pekerti diambil dari seluruh proses apakah siswa berbudi pekerti yang baik di sekolah ?

Keempat, tidak ada penekanan praktek pendidikan budi pekerti di dalam kehidupn sekolah. Tidak ada pemantauan secara serentak dan terpadu oleh pihak sekolah terhadap sikap dan perilaku anak dalam kehidupan kesehariannya. Ucapan terima kasih kepada teman dan gurunya, sikap siswa ketika masuk ruang guru, bagaimana ucapan siswa ketika menanyakan guru A di ruang guru, ucapan doa ketika memperoleh nilai yang memuaskan atau sikap yang terbaik terhadap teman yang terkena musibah dan lain-lain tidak mendapat tekanan, kesempatan latihan dan pernantauan oleh guru secara terpadu. Pendeknya, tidak ada praktikurn pendidikan budi pekerti seperti halnya praktikum IPA di laboratorium.

Kelima, kurangnya dukungan masyarakat terhadap pengembangan pendidikan budi pekerti siswa. Nilai-nilai budi pekerti yang diterima dari proses pendidikan di sekolah seringkali kandas oleh pergaulan di dalam keluarga dan masyarakat sekitarnya. Di sekolah kurang dari sepertiga waktu dalam sehari sedangkan waktu dua pertiganya ada di masyarakat. Oleh karenanya pengaruh keluarga dan masyarakat mempunyai kontribusi yang sangat besar bagi pembentukan pribadi siswa.

Kenyataannya banyak sekali nilai-nilai budi pekerti yang diberikan di sekolah tidak mendapat dukungan dari keluarga maupun masyarakat. Contoh, di sekolah diajari peduli terhadap lingkungan tetapi ayahnya sendiri memberi contoh merusak lingkungan, di sekolah ditegaskan bahwa mencuri itu perbuatan dosa dan tercela namun kakaknya sendiri sering mencuri ayam tetangga, di sekolah diajari saling menyapa bila bertemu teman tetapi di rumah ayah dan ibunya tidak saling tegur sapa. Dalam kondisi yang demikian ini siswa akan sulit mencema apa yang diajarkan gurunya.